Label

Selasa, 31 Desember 2013

Sayyed Hossein Nasr



Filsafat Islam Kontemporer I
(Sayyed Hossein Nasr)

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Sholihan, M. Ag


  




Disusun Oleh :

Lestri Nurratu                       ( 111111038 )


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013


FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER: SAYYED HOSSEIN NASR
I.                   PENDAHULUAN
Dewasa ini, Filsafat merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakniphilosophia dan philosophos. Yang dimaksudkan disini adalah dalam arti seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan.[1]
Dalam filsafat Islam banyak sekali tokoh-tokoh yang mencantumkan pemikiran-pemikiran. Salah satunya adalah Sayyed Hossein Nasr yang merupakan tokoh filsafat Islam kontemporer. Sebagai tokoh filsafat Islam kontemporer, pemikiran Nasr dominan menjerumus kepada modernitas.
Nasr memandang manusia modern telah lupa siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksterbal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra diri. Dengan begitu manusia modenr semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan pinggir eksistensi.[2]
Fenomena ini tidak saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia Islam secara khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang telah dilakukan Barat.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya khususnya pada bidang Islamisasinya.

II.                KEHIDUPAN, KARYA, DAN GARIS BESAR PEMIKIRAN TOKOH
A.    KEHIDUPAN SAYYED HOSSEIN NASR
Sayed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Ayahnya Sayed Waliyullah Nasr adalah seorang dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, kemudian diangkat menjadi pejabat setingkat menteri pada masa dinasti Reza Syah.[3] Pendidikan awalnya dijalani di Teheran ditambah dari orang tuanya yang menanamkan disilin keagamaan secara ketat, kemudian di Qum dalam bidang Al-Quran, syair-syair Persia klasik dan sufisme.
Nasr kemudian melanjutkan pendidikannya di Massachustts Institute of Technology (MIT), AS, dan mendapat gelar B. Sc dalam bidang fisika dan matematika teoritis, tahun 1954.  Kemudian meraih gelar MSc dalam bidang geologi dan geografi di Harvard. Namun, pada jenjang berikutnya, Nasr lebih tertark pada filsafat, sehingga meraih Ph. D dari Harvard, tahun 1958 dalam bidang sejarah ilmu pegetahuan dan filsafat.
Nasr adalah seorang intelektual Islam dan guru besar yang cukup berpengaruh di kalangan mahasiswa Islam. Berbagai university terkenal di Barat sama dengan Fazlurrahman, gagasan-gagasan Nasr dianggap punya prospek baru tentang fenomena lintasan intelektual dalam peradaban modern, di Timur lebih-lebih di Barat. Ia mempu mengadakan observasi mendalam tentang dinamika aktivitas intelektual dan spiritual di negeri yang banyak mematangkan pemikirannya.[4]

B.     KARYA-KARYA SAYYED HOSSEIN NASR
Nasr banyak menghasilkan karya tulis. Lebih dari dua puluh buku ditulis dalam bahasa Eropa, terutama Inggris dan Prancis. Beberapa karya Nasr antara lain:
1.      An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines
2.      Ideals and Reality of Islam
3.      Islamic Studies, Essay on Low and Society, The Science, and Philosophy and Sufisme
4.      The Encounter of Man and Nature
5.      Science and Civilization in Islam
6.      Islam and The Plight of Modern Man
7.      Knowledge and The Sacred[5]
Dan beberapa karya penting, diantaranya :
1.      Knowledge and The Scard Liging Sufism
2.      The Trancedent Theosophy of Sadral Din Shirazi
3.      Islamic Life and Thought
4.      Sufi Essay
5.      Word Spirituality (Theology, Philosophy and Spirituality, Three Muslim Sages)[6]

C.    GARIS BESAR PEMIKIRAN SAYYED HOSSEIN NASR
1.      Seni Islam[7]
a.       Sumber Seni Islam
Menurut Nasr, cikal bakal seni Islam dan kekuatan-kekuatan serta prinsip-prinsip yang mendasarinya tidak mungkin digali dari kondisi sosio-politik yang mengirinya tetapi harus dihubungan dengan pandangan-dunia (world view) Islam sendiri.
Sumber seni Islam harus dicari dalam realitas-realitas batin (haqaiq) Al Quran yang merupakan realitas-realitas dasar kosmos dan realitas spiritual substansi nabawi yang mengalirkan ‘barakah Muhammadiyah’ (al-barakah al-muhammadiyah). Aspek-aspek batin dan barakah nabi inilah yang merupakan sumber seni Islam, yang tanpa keduanya tidak akan muncul seni Islam.
 Al-quran merupakan doktrin keesaan sedang Nabi memberikan manifestasi keesaan ini dalam bidang keserbaragaman dan kesaksian dalam ciptaan-Nya. Barakah Nabi Muhammad memberikan daya kreativitas yang memungkinkan seseorang menciptakan seni Islam.
Seni Islam juga berdasarkan atas hikmah, yakni pengetahuan yang diilhami oleh nilai-nilai spiritual. Karakter intelektual dari seni Islam tidak bisa dianggap sebagai hasil dari semacam rasionalisasi, melainkan dari suatu penglihatan intelektual dari suatu penglihatan intelektual akan pola-pola dasar dari dunia terrestrial.
Seni Islam tidak meniru bentuk-bentuk lahir alam, tetapi memantulkan prinsip-prinsipnya, sehingga ia bukan empirisme, tetapi sebuah scientia sacra yang hanya bisa diraih berdasarkan cara-cara tertentu. Seni Islam bukan sekedar diciptakn oleh seorang muslim tetapi lebih karena didasari oleh wahyu Ilahi.
b.      Klasifikasi
Nasr mengklasifikasikan seni dalam tiga bagian. Pertama, seni suci, yakni seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan kehidupan spiritual. Lawannya adalah seni profane. Seni suci mempunyai atau mengikuti prinsip-prinsip tertentu yan berkaitan dengan nilai-nilai Ilahiyah atau dimensi spiritual Islam.
1.      Mengikuti prinsip kesatuan kosmos dan apa yang ada dibalik semesta dengan kesatuan prinsip ketuhanan.
2.      Mengikuti prinsip kesatuan hidup individu dan masyarakat yang diatur oleh hukum Ilahi (al-Syari’ah).
Kedua, seni tradisional, seni yang menggambarkan prinsip-prinsip agama dan spiritual tetapi dengan cara tidak langsung. Lawannya adalah seni anti-tradisional. Ketiga, seni religious, seni yang subjek atau fungsinya bertema keagamaa, namun bentuk dan caranya pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah lukisan-lukisan religious dan arsitektur Barat sejak Renaissance dan beberapa lukisan religious di dunia Timur selama seabad atau dua abad lalu d bawah pengaruh seni Eropa.
c.       Fungsi Spiritual Seni Islam
Menurut Nasr, seni suci Islam setidaknya mengandung empat pesan atau fungsi spiritual. Pertama, mengalirkan barokah sebagai sebab hubungan batinnya dengan dimensi spiritual Islam. Kedua, mengingatkan kepada Tuhan di manapun manusia berada. Ketiga, menjadi criteria untuk menentukan apakah sebuah gerakan social, cultural dan bahkan politik benar-benar otentik Islami atau hanya menggunakan symbol Islam sebagai slogan untuk mencapai tujuan tertentu. Keempat, sebagai criteria untuk menentukan tingkat hubungan intelektual dan religious masyarakat muslim.


2.      Nilai-nilai Keislaman[8]
Berdasarkan jumlah karya-karya yang diketahui, Nasr mempunyai komitmen yang kuat tentang niai-nilai keislaman yang ditransformasikan kedalam nilai suatu kehidupan umatnya. Begitu juga tentang pengenalannya terhadap Barat, telah membuat suatu sintesis atas peadaban Barat dengan Islam. Nilai-nilai itulah yang muncul ke permukaan sebagai wacana pemikirannya yang justru berbeda dengan pemikir-pemikir lain.
Menurut Nasr, saat proses pembaratan terhadap umat Islam sudah mengalami titik puncak dalam hal-hal tertentu, beberapa bagian dimensi kehidupan, terutama tentang moral, polotik, ekonomi dan sains mengalami wesertnisasi yang luar biasa. Padahal sebelum tersentuh budaya Barat dalam semua aspeknya, kecintaan umat terhadap Islam amat mendalam.
Indikasi gelombang transformasi melewati IPTEK, maka sudah dipastikan segala bias Barat itu tercernakan. Itu semua terilhami atas dampak modernisasi fase pertama yang bernilai adanya upaya pengadopsian Barat dalam semua dimensinya yang dapat sianggap gagal membawa umat Islam ke depan sesuai propotipe Barat.
Kekeliruan selama ini dalam memahami Islam disebabkan oleh pemahaman yang kelitu umat Islam terhadap Islam bukan isi Islamnya yang salah. Islam tetap universal. Pemikiran Nasr tentang “spiritualisme” Islam tersebut merupakan antisipasi atas nilai-nilai Barat yang kuat dan sudah mencapai titik puncak.

D.    PEMIKIRAN FILSAFAT SAYYED HOSSEIN NASR
Dalam perspektif Islam, intelek (al-‘aql) dan spirit (al-ruh) mempunyai hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua muka dari realitas yang sama. Spiritual Islam dapat diilhami dari intelektual yang secara tradisional dipahami.[9]
Dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran rasonal-filosofisnya, Nasr selalu merujuk pada masa Islam klasik yaitu suatu masa yang disebutnya dengan Islam “tradisional”, Islam yang masih terintegrasi secara kuat antara dimensi spiritual dan dimensi intelektual yang bersumber pada pemahaman wahyu Ilahi. Pemikiran model ini, dalam wacana filsafat dikenal dengan filsafar perennial.[10]
Secara etimologis, filsafat perennial berasal dari bahasa latin philosophia perennis. Kata perennis kemudian diadobsi kedalam bahasa Inggris yang berarti kekal, selama-lamanya atau abadi.[11] Filsafat ini sendiri mengandung arti sebagai suatu kebenaran kekal di pusat semua tradisi yang berkaitan dengan Sanatana Dharma dalam agama Hindu dan al-hikmah al-khalidah dalam agama Islam.[12]
Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.
Filsafat perennial sendiri diartikan oleh Nasr adalah sebagai kearifan tradisional dalam Islam. Pada waktu yang sama ketika tarekat-tarekt sufi mulai terbentuk, aspek doctrinal tasawuf mulai terkristlisasi kedalam khazanah pengetahuan yang terdiri dari metafisika murni, tingkatan tertinggi dan penerapan prinsip-prinsip metafisika kepada kosmos dan keadaan manusia, atau kosmologi, antropologi dan psikologi, sebagaimana istilah tersebut dipahami dalam pengertian tradisionalnya.[13]
 Istilah philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan pertama kali di dunia Baat oleh Augustinus Steuchus yang kemudian dimahsyurkan oleh Leibnitz.[14]
Tetapi realitas filsafat perennial tetap tertutup untuk masa yang sangat lama oleh aliran filsafat keduniawian yang lebih dominan di dunia Barat yang didasarkan pada gagasan tentang evolusi pemikiran dan “kemajuan” menuju kebenaran.
Term perennial biasanya muncul dalam wacana filsafat agama yang membicarakan tentang: Pertama, Tuhan wujud yang absolute, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Benar adalah satu, sehingga agama yang muncu dari Yang satu pada prinsipnya sama karena dating dari sumber yang sama. Kedua, filsafat perennial ingin membahas fenomena pluralism agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga, filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas seseorang atau kelompok melalui symbol, ritus serta pengalaman keberagamaan.[15]
Inti pandangan filsafat perennial adalah dalam setiap agama dan tradisi-tradisi eksoterik ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan symbol.
Filsafat perennial juga disebut sebagai tradisi dalam pengertian al-din, dalam arti yang seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya, dalam pengertian as-sunah yaitu apa yang didasarkan pada model-model sacral sudah menjadi tradisi sebagaimana umumnya kata ini dipahami, dan al-silsilah yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran didunia tradisional kepada sumber seperti tampak gamblang dalam sufisme. Filsafat perennial adalah tradisi yang bukan dalam pengertian mitologi yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kana-kanak, melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil.
Menurut Nasr, modernitas merupakan sesuatu yang terisah dari Yang Transenden, dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur materi dan yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertian yang seluas-luasnya. Resep yang ditawarkan Nasr dalam menghadapi modernitas adalah integrasi antara pemahaman sepenuhnya akar-akar mauun cabang-cabang modernitas dan pengajuan solusi atas sejumlah problema yang disodorkan modernism dengan tradisi Islam.

E.     PENUTUP
Sayed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Ayahnya Sayed Waliyullah Nasr adalah seorang dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, kemudian diangkat menjadi pejabat setingkat menteri pada masa dinasti Reza Syah. Nasr banyak menghasilkan karya tulis. Lebih dari dua puluh buku ditulis dalam bahasa Eropa, terutama Inggris dan Prancis. Beberapa karya penting Nasr antara lain: Knowledge and The Scard Liging Sufism, The Trancedent Theosophy of Sadral Din Shirazi, Islamic Life and Thought, Sufi Essay, Word Spirituality (Theology, Philosophy and Spirituality, Three Muslim Sages).
Dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran rasonal-filosofisnya, Nasr selalu merujuk pada masa Islam klasik yaitu suatu masa yang disebutnya dengan Islam “tradisional”, Islam yang masih terintegrasi secara kuat antara dimensi spiritual dan dimensi intelektual yang bersumber pada pemahaman wahyu Ilahi.pemikiran model ini, dalam wacana filsafat dikenal dengan filsafar perennial.
Term perennial biasanya muncul dalam wacana filsafat agama yang membicarakan tentang: Pertama, Tuhan wujud yang absolute, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Benar adalah satu, sehingga agama yang muncu dari Yang satu pada prinsipnya sama karena dating dari sumber yang sama. Kedua, filsafat perennial ingin membahas fenomena pluralism agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga, filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas seseorang atau kelompok melalui symbol, ritus serta pengalaman keberagamaan.
Inti pandangan filsafat perennial adalah dalam setiap agama dan tradisi-tradisi eksoterik ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan symbol.










DAFTAR PUSTAKA
Kholiq, Abdul dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Nasr, Seyyed Hossein (Terj. Luqman Hakim), Islam Tradisi di Tengah Kancah Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1994.
Nasr, Seyyed Hossein (terj. Yuliani Liputo), The Garden of Truth (Mereguk Sari Tasawuf), Bandung: Mizan, 2010.
Nasr, Seyyed Hossein, Intelektual Islam (Teologi, Filsafat dan Gnosis), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Schuon, Frithjof (terj. Rahmani Astuti), Islam and the Perennial Philosophy, (Bandung: Mizan, 1995)
Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Taufik, Akhmad, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernitas Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004), Hal:  2-3
[2] Seyyed Hossein Nasr (Terj. Luqman Hakim), Islam Tradisi di Tengah Kancah Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1994, hal:  37
[3] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal: 316
[4] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernitas Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hal: 210
[5] Op. Cit, A. Khudori Soleh, hal: 320
[6] Op. it, Akhmad Taufik, hal: 211
[7] Op. Cit, A. Khudori Soleh, hal: 320
[8] Op. it, Akhmad Taufik, hal:211
[9] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam (Teologi, Filsafat dan Gnosis), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal: 31
[10] Abdul Kholiq dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal: 308
[11] Ibid, hal: 308
[12] Frithjof Schuon (terj. Rahmani Astuti), Islam and the Perennial Philosophy, (Bandung: Mizan, 1995), hal: 7
[13] Seyyed Hossein Nasr (terj. Yuliani Liputo), The Garden of Truth (Mereguk Sari Tasawuf), (Bandung: Mizan, 2010), hal: 257
[14] Ibid, hal: 7
[15] Op. Cit, Abdul Kholiq dkk, hal: 308-309

Tidak ada komentar:

Posting Komentar