Label

Selasa, 31 Desember 2013

TERAPI REALITAS




TERAPI REALITAS


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pemahaman Individu
Dosen Pengampu: Anila Umriana, M.Pd

  








Disusun Oleh :

Lestri Nurratu                       ( 111111038 )


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
 



I.                   PENDAHULUAN
Semua motivasi dan perilaku kita adalah dalam rangka memuaskan salah satu atau lebih kebutuhan universal manusia, dan bahwa kita bertanggung jawab atas perilaku yang kita lakukan atau pilih. Individu harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa lalu. Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan melakukan intensi untuk masa depan.
Seorang terapis bertugas menolong individu membuat rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas diri merupakan satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri.
Perubahan identitas biasanya diikuti dengan perubahan perilaku di mana individu harus bersedia merubah apa yang dilakukannya dan mengenakan perilaku yang baru. Untuk itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai terapi realitas. Karena dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya menolong individu agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam dirinya.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah terapi realitas itu ?
B.     Apa saja teori dan konsep dasar dalam terapi realita ?
C.     Apa ciri-ciri dari terapi realitas?
D.    Apa tujuan dari terapi realitas?
E.     Bagaimana fungsi dan peranan bagi terapis?
F.      Bagaimana tehnik-tehnik dan prosedur dalam terapi realita?





III.             PEMBAHASAN
A.    Terapi Realitas
Terapi realitas adalah sebuah metode konseling dan psikoterapi perilaku kognitif yang sangat berfokus dan interaktif, dan merupakan salah satu yang telah diterapkan dengan sukses dalam berbagai lingkup.[1]
Terapi realitas dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960-an sebagai reaksi penolakan terhadap konsep-konsep dalam konseling psikoanalisa. William Glasser lahir pada tahun 1925 di Ohio. Pada usianya yang sangat muda, 19 tahun ia lulus sebagai Insinyur Kimia di Case Institute of Technology. Dan pada umur 23 tahun ia mendapat gelar Master bidang Psikologi Klinis di Case Western Reserve University, dan pada usianya yang ke 28 tahun Glesser lulus sebagai Doktor pada universitas yang sama.[2]
Glasser memandang Psikoanalisa sebagai suatu model perlakuan yang kurang memuaskan, kurang efektif,dan oleh karena itu ia termotivasi untuk memodifikasi konsep-konsep psikoanalisa dan mengembangkan pemikirannya sendiri berdasarkan pengalaman hidup dan pengalaman klinisnya. Karena terapi realitas berfokus pada roblem kehidupan masa kini (realitas terbaru klien) dan penggunaan teknik mengajukan pengajuan pertanyaan oleh terapis realitas, terapi realitas terbukti sangat efektif dalam jangka pendek, meskipun tidak terbatas pada itu saja.[3]

B.     Teori dan konsep dasar terapi realitas
Teori yang mendasari terapi realitas, disebut ‘teori pilihan’. Teori plihan merupakan salah satu teori yang menjelaskan tidak hanya kita berfungsi sebagai individu, secara psikologis dan fisiologis namun juga bagaimana kita berfungsi sebagai kelompok dan bahkan masyarakat. Dalam teori pilihan menegaskan bahwa pegendalian mengacu pada perasaan ‘control batin’ seseorang dan bahwa kebanyakan perilaku kita termotivasi secara internal.
Karena pada dasarnya motivasi dan perilaku manusia dihasilkan atau dipilih sebagai upaya untuk memenuhi satu atau lebih dari lima kebutuhan universal. Dari sini kita dapat merumuskan lima prinsip utama teori pilihan, antara lain:[4]
1.      Kebutuhan-kebutuhan dasar kita, karena motivasi dan perilaku manusia dirancang untuk memenuhi satu atau lebih dari lima kebutuhan dasar yang dibangun dalam susunan genetis kita yaitu : kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan untuk merasa mampu dan berprestasi, kebutuhan untuk memperoleh kesenangan, kebutuhan untuk memperoleh kebebasan dan kemandirian, kebutuhan untuk hidup.
2.      Dunia berkualitas, kita bangun dengan cara mengisinya dengan gambar-gambar, symbol-simbol orang, tempat, benda, keyakinan, ide, nilai yang penting atau special dan memiliki kualitas untuk kita. Yang dimaksudkan disini adalah berisi keinginan-keinginan atau hasrat-hasrat spesifik dan unik mengenai bagaimana kita sangat ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita.
3.      Frustasi
4.      Perilaku total
5.      Persepsi dan realitas terkini, bagaimana orang-orang memersepsikan dunia disekitar mereka, maupun bagaimana mereka mempersepsikan diri, tentu saja membentuk realitas mereka mengenai dunia dan diri mereka pada titik tertentu. Memahami persepsi klien menegenai realitas terkini dan membantunya mengevaluasi kembali persepsi tersebut dipahami oleh terapis realitas sebagai aspek yang sangat penting dalam proses konseling.
C.    Ciri-Ciri Terapi Realitas
Dalam menentukan terapi realitas, sekurang-kurangnya ada delapan ciri untuk menentukan, yaitu:[5]
1.        Terapi realitas menolak tentang konsep penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkahlaku yang sepesifik adalah akibat dari tidak bertanggung jawaban.
2.        Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Juga terapi realitas tidak bergantung pada pemahman untuk mengubah sikap-sikap, tetapi menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
3.        Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak dapat dirubah, maka yang bisa dirubah untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
4.        Terapi realtas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Ia menempatkan pokok kepentingan pada peran klien dalam menilai kualitas tingkahlakunya sendiri dalam menentukan apa yang membuat kegagalan yang dialaminya. Jika klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadi perubahan positif, semata-mata karena mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik dari pada gaya mereka sekarang yang tidak relatif.
5.        Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realita menghimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memerankan peran sebaagai ayah atau ibu klien.
6.        Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketidak sadaran. Terapi realita menekankan pada kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak dapat mendapatkan yang diinginkannya, dan bagai mana dia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkahlaku yang berhasil yang berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realitis.
7.        Terapi realitis menghapus hukum. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukum guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana melakukan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapeutik. Glasser menganjurkan membiarkan mengalami konsekuensi-konsekuensi yang wajar dari tingkah lakunya.
8.        Terapi realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara yang tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”.[6]

D.    Tujuan Terapi Realitas
Tujuan umum terapi realitis adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya, otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan internal. Kematangan ini menyiratkan bahwa orang-orang mampu bertanggung jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta mengembangkan rencana-rencana bertanggung jawab dan realitas guna mencapai tujuan-tujuan mereka. Terapi realitas membantu orang-orang dalam menentukan dan mempelajari tujuan-tujuan mereka. Selanjutnya, ia membantu mereka dalam menjelaskan cara-cara mereka menghambat kemajuan ke arah tujuan-tujuan yang ditentukan oleh mereka sendiri.[7]

E.     Fungsi dan Peranan Terapis
Tugas dasar terapis adalah melibatkan diri dengan klien, dan membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser merasa bahwa, ketika terapis menghadapi para klien, dia memaksa mereka itu untuk memutus apakah mereka akan atau tidak akan menempuh “jalan yang bertanggung jawab”. Terapis tidak membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan putusan-putusan bagi para klien, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas terapis bertindak sebagai pembimbing yang membantu klien agar bisa menilai tingkahlakunya sendiri.
Terapis harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam hubungan dengan klien. Ia harus mengajari klien bahwa tujuan terapi tidak diarahkan kebahagiaan. Terapi realitas berasumsi bahwa klien bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri dan kunci utama menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu terapis tidak menerimapengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan klien menyalahkan apa pun atau siapapun di luar dirinya atas ketidak bahagiaannya pada saat sekarang.[8]

F.     Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Terapi
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedur-prosedur difokuskan kepada kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah laku sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa tekhnik sebagai berikut:
1.        Terlibat dalam permainan peran dengan klien.
2.        Menggunakan humor.
3.        Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun.
4.        Membantu klien dalam merumuskan rencan-rencana yang sepesifik bagi tindakannya.
5.        Bertindak sebagai model dan guru.
6.        Memasang batas-batas dan menyusun sistem terapi.
7.        Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realitas.
8.        Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang efektif.
Terapi realitas tidak memasukkan sejumlah tehnik yang secara umum diterima oleh pendekatan-pendekatan terapi lainnya. para psikiater yang mempraktekkan terapi realitas tidak menggunakan obat-obatan dan medikasi-medikas konservatif, sebab medikasi cenderung menyingkirkan tanggung jawab pribadi. Selain itu, para pemraktek terapi realitas tidak menghabiskan waktunya untuk bertindak sebagai “detektif” mencari alasan-alasan, terapi berusaha membangun kerjasama dengan para klien untuk membantu mereka dalam mencapai tujuan-tujuannya.[9]
G.    Implementasi dalam memahami pasien
Dalam prakteknya, terapi realitas dilihat sebagai 2 strategi utama (tapi saling berhubungan) yaitu: (a) membangun relasi atau lingkungan konseling yang saling percaya. (b) prosedur-prosedur yang menuntun menuju perubahan yang dirangkum sebagai system WDEP.[10]
Dalam hal ini klien harus merasa aman untuk membicarakan dunia batinnya –pikiran, perasaan, dan tindakannya, tanpa rasa takut, kecaman atau tuduhan.konselor terapi realitas berusaha menyampaikan bahwa gaya terapinya akan sangat interaktif, bahwa ia akan mengajukan pertanyaan dan mendiskusikan problem secara bergantian, dan bahwa ia terus berpegang pada keyakinan bahwa klien bisa membuat pilihan dengan lebih baik dan lebih efektif.
Karena dalam terapi realitas banyak menggunakan pertanyaan, maka system WDEP memberikan kerangka pertanyaan yang akan diajukan. Tiap huruf dalam WDEP melambangkan sekelompok gagasan yaitu :
W = Wants (keinginan)
Klien diberi kesempatan untuk mengeksplorasi setiap kehidupannya, termasuk yang diinginkannya dari bidang khusus yang relevan. Karena menanyai klien hal yang diinginkan dari dirinya akan membantunya memutuskan tingkat komitmen yang ingin diterapkan untuk memenuhi keinginannya.
D = Doing in direction (melakukan dan arah)
Disini mencakup semua 4 komponen perilaku total : tindakan, pikiran, perasaan, dan fisiologi.
E = Evaluation (Evaluasi) – menolong klien mengevaluasi dirinya sendiri
Klien diminta melakukan evaluasi mendalam mengenai perilaku spesifik sendiri.
P = Planning (Rencana) – membantu klien membuat rencana tindakan
Proses WDEP mencapai puncaknya saat membantu klien membuat rencana tindakan.

IV.             KESIMPULAN
Terapi realitas adalah sebuah metode konseling dan psikoterapi perilaku kognitif yang sangat berfokus dan interaktif, dan merupakan salah satu yang telah diterapkan dengan sukses dalam berbagai lingkup. Terapi realitas dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960-an sebagai reaksi penolakan terhadap konsep-konsep dalam konseling psikoanalisa.
Teori yang mendasari terapi realitas, disebut ‘teori pilihan’. Teori plihan merupakan salah satu teori yang menjelaskan tidak hanya kita berfungsi sebagai individu, secara psikologis dan fisiologis namun juga bagaimana kita berfungsi sebagai kelompok dan bahkan masyarakat. Dalam teori pilihan menegaskan bahwa pegendalian mengacu pada perasaan ‘control batin’ seseorang dan bahwa kebanyakan perilaku kita termotivasi secara internal. Karena pada dasarnya motivasi dan perilaku manusia dihasilkan atau dipilih sebagai upaya untuk memenuhi satu atau lebih dari lima kebutuhan universal.
Cirri-ciri terapi realitas :
1.      Terapi relitas menolak konsep tentang penyakit mental.
2.      Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap.
3.      Terapi realitas berfokus pada saat sekarang.
4.      Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai.
5.      Terapi realitas tidak menekankan transferensi.
6.      Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek kesadaran.
7.      Terapi realitas menghapus hukuman.
8.      Terapi realitas menekankan tanggung jawab.
Tujuan umum terapi realitis adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Tugas dasar terapis adalah melibatkan diri dengan klien, dan membuatnya menghadapi kenyataan. Terapis harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam hubungan dengan klien.
Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa tekhnik sebagai berikut:
1.      Terlibat dalam permainan peran dengan klien.
2.      Menggunakan humor.
3.      Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun.
4.      Membantu klien dalam merumuskan rencan-rencana yang sepesifik bagi tindakannya.
5.      Bertindak sebagai model dan guru.
6.      Memasang batas-batas dan menyusun sistem terapi.
7.      Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realitas.
8.      Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang efektif.
Dalam prakteknya, terapi realitas dilihat sebagai 2 strategi utama (tapi saling berhubungan) yaitu: (a) membangun relasi atau lingkungan konseling yang saling percaya. (b) prosedur-prosedur yang menuntun menuju perubahan yang dirangkum sebagai system WDEP. Dimana W = Wants, D = Doing and Direction, E = Evaluation, dan P = Planning.
V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun, semoga  dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Kami  menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saya menanti kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca guna pembuatan makalah saya selanjutnya agar lebih baik lagi. Amin...


DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerlad. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco, 1988
Gunarsa, Singgih D., Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia, 2007
Palmer, Stephen, Konseling dan Psikoterapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010


[1] Stephen Palmer, Konseling dan Psikoterapi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 525
[2] Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), hal: 240
[3] Op. Cit, Stephen Palmer, hal: 525
[4] Ibid, Stephen Palmer, hal: 526-531
[5] Gerlad Corey, Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi (Bandung: PT Eresco, 1988) Hal. 268
[6] Ibid. Gerlad Corey, Hal 269 – 272
[7] Ibid. Gerlad Corey, Hal. 273 – 274
[8] Ibid. Gerlad Corey, Hal. 274 – 275
[9] Ibid. Gerlad Corey, Hal. 281-282
[10] Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), hal: 534-536

Tidak ada komentar:

Posting Komentar