Label

Jumat, 11 Januari 2013

Unsur Religius pada Serat Kalatidha dan Serat Wulangreh


I.                   PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan sastra Jawa memang sungguh panjang. Sastra Jawa mempunyai segudang pengalaman yang perlu diungkap dicari mutiara-mutiaranya untuk dimanfaatkan. Sastra Jawa sungguh mempunyai penyuguhan sejumlah besar karya pustaka yang patut diminati dan dikaji supaya hasilnya dapat disumbangkan untuk pembangunan bangsa dan Negara tercinta.
Pada jaman Hindu-Budha sastra Jawa kebanjiran kata-kata bahasa Sansekerta, cerita-cerita Hindu dan pustaka agama Hindu dan Budha, pada jaman Ialam Demak Bintara bahasa Jawa jadi bertambah kaya lagi dengan masuknya istilah-istilah bahasa Arab dan cerita-cerita yang pernah terjadi di tanah suci Ngarbi dan panutan-panutan agama Rasul.
Pada pusat-pusat pemerintahan, pengaruh islam diolah dan dilumat dengan bekal keyakinan yang telah dimiliki, yaitu Jawa-Hindu-Budha yang telah mempribadi. Pengetahuan Islam yang dimiliki oleh masyarakat Jawa baru kulitnya saja. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari masih tetap menalurikan adat tatacara Jawa yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya.
Pandangan hidup yang demikian itulah yang memantul dalam sebagian besar hasil karya sastra Jawa yang digubahnya. Wawasan hidup masyarakat Jawa mengarah pada sikap keterikatan manusia terhadap Hyang Tunggal yang dialami sebagian sumber ketentraman dan kebahagiaan. Ini adalah salah satu cirri yang mendasar yang nampak dalam hasil karyasastra yang diciptakan.
Dalam makalah ini, mencoba memberikan sebuah pembahasan sederhana dari serat Kalatidha karya R. Ng. Ranggawarsita dan serat Wulangreh hasil karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan.

II.                PEMBAHASAN
A.    Serat Kalatidha Buah Karya R. Ng. Ranggawarsita
R. Ng. Ranggawarsita, pujangga terakhir keraton Surakarta Adiningrat yang berkaitan jelas dengan keyakinan sang pujangga terhadap kekuasaan Yang Maha Kuasa. Dalan karya Ranggawarsita yang berjudul Serat Kalatidha, hubungan antar manusia digambarkan sebagai sesuatu yang harus senantiasa dijaga walaupun keadaan di tengah kehidupan tidak menunjukan hal-hal yang mengenakan.
Ajaran R. Ng. Ranggawarsita dalam karyanya tersebut tidak hanya ditunjukan kepada masyarakat awam, tetapi juga kepada para pejabat. Adapun kutipan dari serat Kalitadha adalah sebagai berikut :

9.        Beda lan wus santosa
Kinarilan ing Hyang Widdhi
Satiba malanganeya
Tan usah ngupaya kasil
Mangunahing pra mukmin
Pangeran paring pitulung
Marga sasamining titah
Rumangsa barang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar
(serat Kalatidha, bait ke-9)[1]

Berbeda dengan (manusia) yang sudah teguh (beriman)
Diizinkan oleh tuhan
Ketika mendapat kemalangan
Tidak pernah sulit mendapat penghasilan
Berkat harapannya
Tuhan selalu memberi pertolongan
Karena sebagai manusia
Semua yag diharapkan
Masih tetap harus tekun berikhtiar

Dalam kutipan serat diatas, terlihat jelas pengaruh Islam yang mengharuskan kita untuk berikhtiar kepada Allah dalam keadaan apapun juga. Karena dengan berikhtiar, manusia menunjukan bahwa masih adanya semangat untuk hidup. Karena Allah akan selalu memberikan pertolongan kepada manusia yang selalu beriman kepada-Nya, memohon kepadanya dan tetap berusaha untuk mengubah takdirnya sendiri.

Seperti yang di jelaskan dalam al-qur’an surat Ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi :
ان الله لايعير مابقوم حتى يفيروامابانفسهم (اررعد : اا)
Yang artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

11.    Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martini
Ing alam awal akhir
Dumunung ing gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ingwekasan kadi pundi
Mila mugi wonten pitulung Tuwan
(serat Kalatidha, bait ke-11)[2]

Ya Allah ya Rasulullah
Yang memiliki sifat murah dan asih
Semoga memberi
Memberi pertolongan yang luas
Di alam awal dan akhir
Keberadaan hidupku
Sekarang sudah tua
Di akhir bagaimana
Semoga selalu ada pertolonganMu

Dalam serat tersebut R. Ng. Ranggawarsita menjelaskan bahwa orang yang senantiasa dapat besabar akan menjauhi masalah selama hidupnya, sehingga ia akan memperoleh ketentraman. Raden Ngabeni Ranggawarsita menyarankan agar manusia selalu berdoa agar segala penghalang yang merintang hidupnya dapat terjauhkan.[3]
Dalam serat di atas juga dapat dilihat bahwa sesungguhnya Allah dan Rasulullah mempunyai sifat pengasih dan penyayang. Hal ini Nampak pada surat al-baqarah ayat 5 yang berbunyi :
اياك نعبدؤاياك نستعين (البقره : ه)
Yang artinya :
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engakulah kami memohon pertolongan.”[4]
Oleh karena itu hendaklah manusia selalu meminta pertolongan kepada-Nya. Selain itu pernyataan di atas di kuatkan dengan serat Sabdajati bait 10 yang berbunyi :
Anuhoning kabeh kang duwe
Panuwun,
Yen temen-temen sayekti
Allah aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
(serat Sabdajati bait 10)[5]

(Tuhan) mengabulkan semua yang punya
Permohonan
Bila sungguh-sungguh doanya
Allah memberikan pertolongan
Agar tak kurang sandang pangan
Segala harapan tentu terlaksana.



B.     Serat Wulang Reh ciptaan Sri Susuhunan Pakubuwana IV
Serat Wulangreh merupakan serat hasil karya yang mulia Kanjeng Susuhanan Pakubuwana IV di Surakarta. Wulangreh, yan artinya pelajaran (= wulang) tentang tingkah laku (= reh). Tingkah laku dalam hal pergaulan, menghadapi raja atau melaksanakan tugas di Istana,  tingkah laku hidup di dunia, tingkah laku putra raja terhadap bawahannya.
Uraian di atas Sri Susuhanan menyampaikan petuah yang mengandung unsure religi. Dalam serat ini terlihat jelas bahwa Sri Susuhanan yakin akan kekuasaan Yang Maha Esa. Dengan tegas menunjuk bahwa peraturan tentang hidup dan kehidupan manusia di dunia ini terdapat benar-benar di Al-qur’an.
Semua itu dapat terlihat dalam Pupuh I, Dhandhanggula pada bait 3 yang berbunyi :

3.      Jroning Kur’an nggoning rasa yekti
Nanging ta pilih ingkang uninga
Kajaba lawan tuduhe
Nora kena den awur
Ing satemah nora pinganggih
Mundhak katalanjukan
Tedah sasar susur
Yen sira ayun waskitha
Sampurnane ing badanira puniku
Sira anggugurua[6]

Dalam Qur’an tempat rasa yang benar
Tapi pilihan yang kau ketahui
Kecuali dengan petunjuknya
Tak boleh diacak
Yang akhirnya tidak ditemukan
Akhirnya terlanjur
Petunjuknya kacau-balau
Bila kau ingin tahu
Kesempurnaan diri ini
Maka kau bergurulah

 Dalam kutipan serat di atas dapat ditafsirkan bahwa kesempurnaan hidup agar diupayakan dengan sungguh-sungguh. Ajaran kesempurnaan dapat digali dari Qur’an.  Pernyataan bahwa qur’an meupakan sumber “ilmu sejati” terdapat pula dalam suluk Seh Amongraga (bait 7, pupuh IV, Gambuh) yang berbunyi :[7]
Dene sejatinipun
Ngelmu tanpa papan tulis iku
Iya qur’an lan kitab-kitab sayekti

Adapun sesungguhnya
ilmu tanpa papan tulis itu
ya qur’an dan kitab-kitab suci

Dijelaskan oleh Seh Amongraga, bahwa yang dimaksud dengan ilmu sejati tanpa tempat dan alat tulis adalah qur’an dan kitab-kitabnya. 
Dalam serat Wulangreh juga di jelaskan bahwa dalam pemahaman qur’an itu akan lebih tepat apabila mendapat bantuan guru yang sudah berstatus sepagai petapa sejati yang sudah tidak berminat pada masalah kebendaan.  Seperti pada kutipan serat di bawah ini :
Nanging yen sira nggeguru kaki
Amiliha manungsa kang nyata
Ingkang becik martabate
Sarta kang wruh ing kukum
Kang ngibadah lan kang wirangi
Sokur oleh wong tapa
Ingkang wus amungkal
Tan mikir pawewehing lyan
Iku pantes sira guronana kaki
Sartane kawruhana
(serat Wulangreh bait 4)

Tapi bila kau berguru nak
Pilihlah orang yang berilmu tinggi
Dan orang tahu hukum
Yang beribadah yang suci hati
Syukur dapat bertapa
Yang sudah taat betul
Tak memikir pemberian orang
Itu pantaslah engkau gurui nak
Serta ketahuilah

Ungkapan-ungkapan di atas berkaitan dengan empat tataran, yakni syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat berkenaan dengan ilmu kesempurnaan.

III.             KESIMPULAN
·         Serat Kalatidha berisi tentang akhlak, dalam serat ini R. Ng. Ranggawarsita juga menjelaskan tentang ajaran untuk selalu berikhtiar kepada Allah walau dalam keadaan apapun karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum orang itu berusaha mengubah nasibnya sendiri. Dan selalu senantiasa memohon pertolongan Allah karena Allah akan mengabulkan semua permohonan dari umatnya.
·         Serat Wulangreh berisi tentang aturan bertingkah laku. Tingkah laku dalam hal pergaulan, menghadapi raja atau melaksanakan tugas di Istana,  tingkah laku hidup di dunia, tingkah laku putra raja terhadap bawahannya. Dalam serat ini juga di jelaskan bahwa sumber ilmu sejati adalah Al-qur’an.

IV.             PENUTUP
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khasanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua. Dalam pembuatan makalah pasti ada kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dojosantosa.1989. Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu.
Prabowo, Dhanu Priyo.2003. Pengaruh Islam dalam Karya-karya Ranggawarsita. Yogyakarta: Narasi.
Al-qur’an.
Suwondo, Tirto.1994. Nilai-nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kanjeng Susuhanan Pakubuana IV. Serat Wulangreh. Semarang: Dahara Prize.






[1] Dojosantosa. 1989. Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu, hal. 51

[2] Dhanu Priyo Prabowo. 2003. Pengaruh Islam dalam Karya-karya Ranggawarsita. Yogyakarta: Narasi, hal 98-    99
[3] Ibid, hal 100
[4] Al-qur’an
[5] Tirto Suwondo. 1994. Nilai-nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal 73
[6] Kanjeng Susuhanan Pakubuana IV Surakarta Hadiningrat. Serat Wulangreh. Dahara Prize, hal 10
[7] Op Cit, hal 77

Hak Waris Perempuan



I.                   PENDAHULUAN
Masyarakat kuno sama sekali tidak memberikan hak waris terhadap wanita. Dalam hokum-hukum masyarakat kuno, apabila kadang-kadang warisan diberikan kepada anak perempuan, tidak pernah warisan itu diberikan kepada anak dari anak perempuan itu, sementara anak laki-laki dapat menerima warisan dari peninggalannya kelak.
Sejarah hak waris wanita panjang sekali. Para ahli dan sarjana telah menyelidiki secara luas dan telah meninggalkan banyak hasil penelitian dan tulisan tentang pokok ini. Dalam hokum-hukum masyarakat kuno, warisan tidak diberikan kepada wanita karena untuk mencegah beralihnya kekayaan suatu keluarga kepada keluarga yang lain.
Selain itu, ada pula alasan lain mengapa wanita tidak diberikan harta warisan, diantaranya adalah kelemahan mereka dalam berperang. Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba mengulas hak waris bagi wanita sebelum islam, warisan perempuan.
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hak waris perempuan sebelum islam ?
2.      Bagaimana warisan terhadap perempuan ?
III.             PEMBAHASAN
A.    Hak Waris Perempuan Sebelum Islam
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bahwa bangsa arab sebelum datangnya Islam sangat zalim terhadap kaum perempuan. Mereka tidak memmberikan harta warisan kepada kaum perempuan ataupun anak-anak bahkan dari harta suami, atau ayah mereka sekalipun. Bahkan orang arab pada jaman jahiliyah menganggap istri di mendiang sebagai bagian dari harta benda dan kekayaannya, dan mereka mengambilnya sebagai bagian dari warisan.[1]
Begitu pula ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.[2] Sebenarnya tradisi yang melarang wanita untuk menerima haknya dalam warisan merupakan tradisi jahiliyah.
B.     Warisan Perempuan
Hal lain yang sering digugat kaitannya dengan aspek kesetaraan laki-laki perempuan adalah soal warisan. Banyak kalangan mempersoalkan perbandingan yang tidak adil, 1 bagian laki-laki dengan ½ bagian perempuan. Seperti yang dituliskan dalam al-qur’an QS. Al-Nisa ayat 11 :
يوصيكم الله في اولادكم للذكرمثل حظ الآنثيين...(النساء)
Artinya :
“ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan…(QS. Al-Nisa: 11)
Ayat diatas menjelaskan bahwa laki-laki akan mendapatkan jatah warisan seperdua bagian perempuan. Rasulullah SAW bersabda.., berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (sesuai dengannbagiannya), sedangkan sisanya adalah bai ashabah laki-laki terdekat. (HR.Muslim)
Kalau dilihat-lihat memang telah terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan. Namun jika kita renungkan dengan seksama, sesungguhnya islam telah membaginya dengan seadil-adilnya. Karena adil bukan berarti harus selalu sama.
Apabila pengakuan akan perbedaan peran pria dan wanita dalam lingkungan hubungan khusus mereka berdua sebagai suami istri dibenarkan dan diterima karena adanya beberapa perbedaan hak-hak khusus yang ada pada masing-masing mereka, lalu apakah membenarkan perbedaan antara mereka berdua dalam bidang hak-hak umum, dimana bagkian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, hal yang mengesankan bahwa wanita sama dengan setengah pria?
Al-Razi menjelaskan hikmah hokum warisan 1:2 adalah : pertama, karena perempuan lebih lemah disbanding anak laki-laki, nafkah perempuan sudah siberikan oleh suami. Kedua, laki-laki lebih sempurna keadaannya dari pada perempuan, baik dari segi moral, intelektual, maupun agama. Ketiga, arena perempuan sedikit akal tetapi banyak keinginan. Keempat, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya mampu membelanjakan harta yang dimiliki untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendapat pujian atau kebaikan didunia dan mendapat pahala diakhirat.[3]
Dalam al-qur’an terdapat kalimat yang berbunyi li al-dzakar mitslu al-untsayain dan bukan li al-untsayain mitslu hazzi al-dzakarain?
Ibn Asyur memahami ayat ini sebagai pemberian hak waris bagi perempuan adalah hal yang lebih penting dibandingkan laki-laki karena pada zaman jahiliyah karena perempuan tidak berhak atas warisan. Bagian satu anak laki-laki adalah sebanding dengan bagian dua anak perempuan, artinya bagian anak laki-laki diketahui setelah mengetahui bagian perempuan. Pesan yang ingin disampaikan oleh al-qur’an adalah transformasi hukum berupa disyariatkannya hak waris bagi perempuan yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi jahiliyah.[4]
Nasarudin Umar dalam Argument Kesetaraan Jender kata min rijalikum dalam QS Al-Baqoroh: 282 lebih ditekankan pada sapek jender laki-laki, bukan pada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki, dibuktikan dengan tidak semua laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama.
Imarah berusaha menampilkan pandangan yang berbeda dengan mainstream ulama tafsir klasik. Imarah belindung pada pandangan Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyahdan Syaltut tentang QS. Al-baqarah/2:282, bahwa al-qur’an tidak menyebut dua saksi atau satu saksi berbanding dua saksi perempuan dalam pengadilan akan tetapi menjelaskan dua cara pembuktian hak dalam jual beli, yaitu saksi dan khitabah(kesepakatan tertulis)
Imarah menguatkan pandangannya dengan mengutip pandangan Muhammad Abduh bahwa realitas perempuan saat turunnya al-qur’an adalah mereka tidak banyak terlibat secara langsung dalam urusan jual beli sehingga dianggap tidak cakap dalam urusan tersebut. Namun kondisi ini dapat berubah dari waktu kewaktu. Karena pada kenyataannya pada zaman sekarang banyak dijumpai perempuan-perempuan yang cerdas dan berintelektual tinggi.
Jadi pada kenyataannya pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada hokum adat istiadat dan pemikiran mainstream yang di anut oleh masyarakat pada umumnya. Mereka mengatakan bahwa perempuan adalah lemah, tak kuat ingatannya dan perempuan adalah hanya teman sex bagi laki-laki semata.
Namun pada kenyataannya seiring dengan perkembangan jaman kondisi ini berubah dari waktu-kewaktu. Pada kenyataannya penafsiran seperti yang ditafsirkan diatas adalah tafsir klasik yang lahir pada masyarakat dan budaya tertentu yang tidak menutup kemungkinan budaya tersebut tetap dianut oleh masyarakatnya.
Sebenarnya masalah ini tidak jauh dari bidang khusus, yaitu perbedaan bagian perempuan dan laki-laki dalam warisan. Perbedaan mereka berdua dikarenakan tanggung jawab umum yang dibebankan kepada laki-laki. Allah SWT memberikan bagian wanita setengah dari bagian pria, oleh karena itu wanita terbebaas dari beban-beban materi (financial)yang menjadi beban kaum laki-laki.









IV.             KESIMPULAN
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Al-Razi menjelaskan hikmah hokum warisan 1:2 adalah : pertama, karena perempuan lebih lemah disbanding anak laki-laki, nafkah perempuan sudah siberikan oleh suami. Kedua, laki-laki lebih sempurna keadaannya dari pada perempuan, baik dari segi moral, intelektual, maupun agama. Ketiga, arena perempuan sedikit akal tetapi banyak keinginan. Keempat, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya mampu membelanjakan harta yang dimiliki untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendapat pujian atau kebaikan didunia dan mendapat pahala diakhirat.
Imarah berusaha menampilkan pandangan yang berbeda dengan mainstream ulama tafsir klasik. Imarah belindung pada pandangan Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyahdan Syaltut tentang QS. Al-baqarah/2:282, bahwa al-qur’an tidak menyebut dua saksi atau satu saksi berbanding dua saksi perempuan dalam pengadilan akan tetapi menjelaskan dua cara pembuktian hak dalam jual beli, yaitu saksi dan khitabah(kesepakatan tertulis)
Imarah menguatkan pandangannya dengan mengutip pandangan Muhammad Abduh bahwa realitas perempuan saat turunnya al-qur’an adalah mereka tidak banyak terlibat secara langsung dalam urusan jual beli sehingga dianggap tidak cakap dalam urusan tersebut. Namun kondisi ini dapat berubah dari waktu kewaktu. Karena pada kenyataannya pada zaman sekarang banyak dijumpai perempuan-perempuan yang cerdas dan berintelektual tinggi.





V.                PENUTUP
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khasanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua. Dalam pembuatan makalah pasti ada kekurangan, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: PT LENTERA BASRITAMA, 2000)
Hamka Hasan, TAFSIR JENDER: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,(Badan LItbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009)


[1] Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: PT LENTERA BASRITAMA, 2000), hal. 155
[3] Hamka Hasan, TAFSIR JENDER: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,(Badan LItbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hal. 236-237
[4] Ibid, hal. 238