Filsafat
Islam Kontemporer I
(Sayyed
Hossein Nasr)
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Filsafat Islam
Dosen
Pengampu: Sholihan, M. Ag
Disusun
Oleh :
Lestri
Nurratu ( 111111038
)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
FILSAFAT
ISLAM KONTEMPORER: SAYYED HOSSEIN NASR
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, Filsafat merupakan kata
majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakniphilosophia dan philosophos.
Yang dimaksudkan disini adalah dalam arti seluas-luasnya, yaitu ingin dan
dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang
diinginkan.[1]
Dalam filsafat
Islam banyak sekali tokoh-tokoh yang mencantumkan pemikiran-pemikiran. Salah
satunya adalah Sayyed Hossein Nasr yang merupakan tokoh filsafat Islam
kontemporer. Sebagai tokoh filsafat Islam kontemporer, pemikiran Nasr dominan
menjerumus kepada modernitas.
Nasr memandang manusia modern telah lupa siapakah ia
sesungguhnya. Karena manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya;
ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif
bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang
hanya bersifat eksterbal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra
diri. Dengan begitu manusia modenr semakin jauh dari pusat eksistensi, dan
semakin terperosok dalam jeratan pinggir eksistensi.[2]
Fenomena ini tidak saja dialami oleh
dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia Islam secara
khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang
telah dilakukan Barat.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk
menguraikan berbagai bentuk pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya
khususnya pada bidang Islamisasinya.
II.
KEHIDUPAN, KARYA, DAN GARIS BESAR
PEMIKIRAN TOKOH
A.
KEHIDUPAN SAYYED HOSSEIN NASR
Sayed Hossein
Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Ayahnya Sayed Waliyullah Nasr adalah
seorang dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, kemudian diangkat menjadi
pejabat setingkat menteri pada masa dinasti Reza Syah.[3]
Pendidikan awalnya dijalani di Teheran ditambah dari orang tuanya yang
menanamkan disilin keagamaan secara ketat, kemudian di Qum dalam bidang
Al-Quran, syair-syair Persia klasik dan sufisme.
Nasr kemudian
melanjutkan pendidikannya di Massachustts Institute of Technology (MIT), AS,
dan mendapat gelar B. Sc dalam bidang fisika dan matematika teoritis, tahun
1954. Kemudian meraih gelar MSc dalam
bidang geologi dan geografi di Harvard. Namun, pada jenjang berikutnya, Nasr
lebih tertark pada filsafat, sehingga meraih Ph. D dari Harvard, tahun 1958
dalam bidang sejarah ilmu pegetahuan dan filsafat.
Nasr adalah
seorang intelektual Islam dan guru besar yang cukup berpengaruh di kalangan
mahasiswa Islam. Berbagai university terkenal di Barat sama dengan
Fazlurrahman, gagasan-gagasan Nasr dianggap punya prospek baru tentang fenomena
lintasan intelektual dalam peradaban modern, di Timur lebih-lebih di Barat. Ia
mempu mengadakan observasi mendalam tentang dinamika aktivitas intelektual dan
spiritual di negeri yang banyak mematangkan pemikirannya.[4]
B.
KARYA-KARYA SAYYED HOSSEIN NASR
Nasr banyak
menghasilkan karya tulis. Lebih dari dua puluh buku ditulis dalam bahasa Eropa,
terutama Inggris dan Prancis. Beberapa karya Nasr antara lain:
1.
An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines
2.
Ideals and Reality of Islam
3.
Islamic Studies, Essay on Low and Society, The
Science, and Philosophy and Sufisme
4.
The Encounter of Man and Nature
5.
Science and Civilization in Islam
6.
Islam and The Plight of Modern Man
7.
Knowledge and The Sacred[5]
Dan beberapa karya penting, diantaranya :
1.
Knowledge and The Scard Liging Sufism
2.
The Trancedent Theosophy of Sadral Din Shirazi
3.
Islamic Life and Thought
4.
Sufi Essay
5.
Word Spirituality (Theology, Philosophy and
Spirituality, Three Muslim Sages)[6]
C.
GARIS BESAR PEMIKIRAN SAYYED HOSSEIN NASR
1.
Seni Islam[7]
a.
Sumber Seni Islam
Menurut Nasr, cikal
bakal seni Islam dan kekuatan-kekuatan serta prinsip-prinsip yang mendasarinya
tidak mungkin digali dari kondisi sosio-politik yang mengirinya tetapi harus
dihubungan dengan pandangan-dunia (world view) Islam sendiri.
Sumber seni Islam
harus dicari dalam realitas-realitas batin (haqaiq) Al Quran yang
merupakan realitas-realitas dasar kosmos dan realitas spiritual substansi
nabawi yang mengalirkan ‘barakah Muhammadiyah’ (al-barakah al-muhammadiyah).
Aspek-aspek batin dan barakah nabi inilah yang merupakan sumber seni Islam,
yang tanpa keduanya tidak akan muncul seni Islam.
Al-quran merupakan doktrin keesaan sedang Nabi
memberikan manifestasi keesaan ini dalam bidang keserbaragaman dan kesaksian
dalam ciptaan-Nya. Barakah Nabi Muhammad memberikan daya kreativitas yang
memungkinkan seseorang menciptakan seni Islam.
Seni Islam juga
berdasarkan atas hikmah, yakni pengetahuan yang diilhami oleh nilai-nilai
spiritual. Karakter intelektual dari seni Islam tidak bisa dianggap sebagai
hasil dari semacam rasionalisasi, melainkan dari suatu penglihatan intelektual
dari suatu penglihatan intelektual akan pola-pola dasar dari dunia terrestrial.
Seni Islam tidak
meniru bentuk-bentuk lahir alam, tetapi memantulkan prinsip-prinsipnya,
sehingga ia bukan empirisme, tetapi sebuah scientia sacra yang hanya bisa
diraih berdasarkan cara-cara tertentu. Seni Islam bukan sekedar diciptakn oleh
seorang muslim tetapi lebih karena didasari oleh wahyu Ilahi.
b.
Klasifikasi
Nasr
mengklasifikasikan seni dalam tiga bagian. Pertama, seni suci,
yakni seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan
kehidupan spiritual. Lawannya adalah seni profane. Seni suci mempunyai atau
mengikuti prinsip-prinsip tertentu yan berkaitan dengan nilai-nilai Ilahiyah
atau dimensi spiritual Islam.
1.
Mengikuti prinsip kesatuan kosmos dan apa yang
ada dibalik semesta dengan kesatuan prinsip ketuhanan.
2.
Mengikuti prinsip kesatuan hidup individu dan
masyarakat yang diatur oleh hukum Ilahi (al-Syari’ah).
Kedua, seni
tradisional, seni yang menggambarkan prinsip-prinsip agama dan spiritual
tetapi dengan cara tidak langsung. Lawannya adalah seni anti-tradisional. Ketiga,
seni religious, seni yang subjek atau fungsinya bertema keagamaa, namun
bentuk dan caranya pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Masuk dalam
kategori ini adalah lukisan-lukisan religious dan arsitektur Barat sejak
Renaissance dan beberapa lukisan religious di dunia Timur selama seabad atau
dua abad lalu d bawah pengaruh seni Eropa.
c.
Fungsi Spiritual Seni Islam
Menurut
Nasr, seni suci Islam setidaknya mengandung empat pesan atau fungsi spiritual. Pertama,
mengalirkan barokah sebagai sebab hubungan batinnya dengan dimensi spiritual
Islam. Kedua, mengingatkan kepada Tuhan di manapun manusia berada. Ketiga,
menjadi criteria untuk menentukan apakah sebuah gerakan social, cultural dan
bahkan politik benar-benar otentik Islami atau hanya menggunakan symbol Islam
sebagai slogan untuk mencapai tujuan tertentu. Keempat, sebagai criteria
untuk menentukan tingkat hubungan intelektual dan religious masyarakat muslim.
2.
Nilai-nilai Keislaman[8]
Berdasarkan jumlah
karya-karya yang diketahui, Nasr mempunyai komitmen yang kuat tentang
niai-nilai keislaman yang ditransformasikan kedalam nilai suatu kehidupan
umatnya. Begitu juga tentang pengenalannya terhadap Barat, telah membuat suatu
sintesis atas peadaban Barat dengan Islam. Nilai-nilai itulah yang muncul ke
permukaan sebagai wacana pemikirannya yang justru berbeda dengan
pemikir-pemikir lain.
Menurut Nasr, saat
proses pembaratan terhadap umat Islam sudah mengalami titik puncak dalam
hal-hal tertentu, beberapa bagian dimensi kehidupan, terutama tentang moral,
polotik, ekonomi dan sains mengalami wesertnisasi yang luar biasa. Padahal
sebelum tersentuh budaya Barat dalam semua aspeknya, kecintaan umat terhadap
Islam amat mendalam.
Indikasi gelombang
transformasi melewati IPTEK, maka sudah dipastikan segala bias Barat itu
tercernakan. Itu semua terilhami atas dampak modernisasi fase pertama yang
bernilai adanya upaya pengadopsian Barat dalam semua dimensinya yang dapat
sianggap gagal membawa umat Islam ke depan sesuai propotipe Barat.
Kekeliruan selama
ini dalam memahami Islam disebabkan oleh pemahaman yang kelitu umat Islam
terhadap Islam bukan isi Islamnya yang salah. Islam tetap universal. Pemikiran
Nasr tentang “spiritualisme” Islam tersebut merupakan antisipasi atas
nilai-nilai Barat yang kuat dan sudah mencapai titik puncak.
D.
PEMIKIRAN FILSAFAT SAYYED HOSSEIN NASR
Dalam perspektif
Islam, intelek (al-‘aql) dan spirit (al-ruh) mempunyai hubungan yang sangat
dekat dan merupakan dua muka dari realitas yang sama. Spiritual Islam dapat
diilhami dari intelektual yang secara tradisional dipahami.[9]
Dalam
mengembangkan pemikiran-pemikiran rasonal-filosofisnya, Nasr selalu merujuk
pada masa Islam klasik yaitu suatu masa yang disebutnya dengan Islam
“tradisional”, Islam yang masih terintegrasi secara kuat antara dimensi
spiritual dan dimensi intelektual yang bersumber pada pemahaman wahyu Ilahi. Pemikiran
model ini, dalam wacana filsafat dikenal dengan filsafar perennial.[10]
Secara etimologis,
filsafat perennial berasal dari bahasa latin philosophia perennis. Kata
perennis kemudian diadobsi kedalam bahasa Inggris yang berarti kekal,
selama-lamanya atau abadi.[11] Filsafat
ini sendiri mengandung arti sebagai suatu kebenaran kekal di pusat semua
tradisi yang berkaitan dengan Sanatana Dharma dalam agama Hindu dan al-hikmah
al-khalidah dalam agama Islam.[12]
Diantara para tokohnya yang paling
berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak
dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.
Filsafat perennial sendiri diartikan
oleh Nasr adalah sebagai kearifan tradisional dalam Islam. Pada waktu yang sama
ketika tarekat-tarekt sufi mulai terbentuk, aspek doctrinal tasawuf mulai terkristlisasi
kedalam khazanah pengetahuan yang terdiri dari metafisika murni, tingkatan
tertinggi dan penerapan prinsip-prinsip metafisika kepada kosmos dan keadaan
manusia, atau kosmologi, antropologi dan psikologi, sebagaimana istilah
tersebut dipahami dalam pengertian tradisionalnya.[13]
Istilah philosophia perennis (filsafat
keabadian) barangkali digunakan pertama kali di dunia Baat oleh Augustinus
Steuchus yang kemudian dimahsyurkan oleh Leibnitz.[14]
Tetapi realitas
filsafat perennial tetap tertutup untuk masa yang sangat lama oleh aliran
filsafat keduniawian yang lebih dominan di dunia Barat yang didasarkan pada
gagasan tentang evolusi pemikiran dan “kemajuan” menuju kebenaran.
Term perennial
biasanya muncul dalam wacana filsafat agama yang membicarakan tentang: Pertama,
Tuhan wujud yang absolute, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Benar
adalah satu, sehingga agama yang muncu dari Yang satu pada prinsipnya sama
karena dating dari sumber yang sama. Kedua, filsafat perennial ingin
membahas fenomena pluralism agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga,
filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas
seseorang atau kelompok melalui symbol, ritus serta pengalaman keberagamaan.[15]
Inti pandangan
filsafat perennial adalah dalam setiap agama dan tradisi-tradisi eksoterik ada
suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam
nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan symbol.
Filsafat
perennial juga disebut sebagai tradisi dalam pengertian al-din, dalam arti yang
seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya, dalam
pengertian as-sunah yaitu apa yang didasarkan pada model-model sacral sudah
menjadi tradisi sebagaimana umumnya kata ini dipahami, dan al-silsilah yaitu
rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan
pemikiran didunia tradisional kepada sumber seperti tampak gamblang dalam
sufisme. Filsafat perennial adalah tradisi yang bukan dalam pengertian mitologi
yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kana-kanak, melainkan
merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil.
Menurut Nasr,
modernitas merupakan sesuatu yang terisah dari Yang Transenden, dari
prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur materi dan yang
diberitakan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertian yang seluas-luasnya.
Resep yang ditawarkan Nasr dalam menghadapi modernitas adalah integrasi antara
pemahaman sepenuhnya akar-akar mauun cabang-cabang modernitas dan pengajuan
solusi atas sejumlah problema yang disodorkan modernism dengan tradisi Islam.
E.
PENUTUP
Sayed Hossein
Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Ayahnya Sayed Waliyullah Nasr adalah
seorang dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, kemudian diangkat menjadi
pejabat setingkat menteri pada masa dinasti Reza Syah. Nasr banyak menghasilkan
karya tulis. Lebih dari dua puluh buku ditulis dalam bahasa Eropa, terutama
Inggris dan Prancis. Beberapa karya penting Nasr antara lain: Knowledge and The
Scard Liging Sufism, The Trancedent Theosophy of Sadral Din Shirazi, Islamic
Life and Thought, Sufi Essay, Word Spirituality (Theology, Philosophy and
Spirituality, Three Muslim Sages).
Dalam
mengembangkan pemikiran-pemikiran rasonal-filosofisnya, Nasr selalu merujuk
pada masa Islam klasik yaitu suatu masa yang disebutnya dengan Islam
“tradisional”, Islam yang masih terintegrasi secara kuat antara dimensi
spiritual dan dimensi intelektual yang bersumber pada pemahaman wahyu
Ilahi.pemikiran model ini, dalam wacana filsafat dikenal dengan filsafar
perennial.
Term perennial
biasanya muncul dalam wacana filsafat agama yang membicarakan tentang: Pertama,
Tuhan wujud yang absolute, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Benar
adalah satu, sehingga agama yang muncu dari Yang satu pada prinsipnya sama
karena dating dari sumber yang sama. Kedua, filsafat perennial ingin
membahas fenomena pluralism agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga,
filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas
seseorang atau kelompok melalui symbol, ritus serta pengalaman keberagamaan.
Inti pandangan
filsafat perennial adalah dalam setiap agama dan tradisi-tradisi eksoterik ada
suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam
nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan symbol.
DAFTAR
PUSTAKA
Kholiq, Abdul dkk, Pemikiran Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Nasr, Seyyed Hossein
(Terj. Luqman Hakim), Islam Tradisi di Tengah Kancah Manusia Modern,
Bandung: Pustaka, 1994.
Nasr, Seyyed
Hossein (terj. Yuliani Liputo), The Garden of Truth (Mereguk Sari
Tasawuf), Bandung: Mizan, 2010.
Nasr, Seyyed Hossein, Intelektual Islam (Teologi,
Filsafat dan Gnosis), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Schuon, Frithjof (terj. Rahmani Astuti), Islam
and the Perennial Philosophy, (Bandung: Mizan, 1995)
Soleh, A.
Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Taufik,
Akhmad, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernitas Islam, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2005.
[1] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada. 2004), Hal: 2-3
[2] Seyyed
Hossein Nasr (Terj. Luqman Hakim), Islam Tradisi di Tengah Kancah
Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1994, hal: 37
[3] A. Khudori Soleh, Wacana
Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal: 316
[4] Akhmad Taufik, Sejarah
Pemikiran dan Tokoh Modernitas Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005),
hal: 210
[5] Op. Cit, A. Khudori Soleh,
hal: 320
[6] Op. it, Akhmad Taufik,
hal: 211
[7] Op. Cit, A. Khudori Soleh,
hal: 320
[8] Op. it, Akhmad Taufik,
hal:211
[9] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual
Islam (Teologi, Filsafat dan Gnosis), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
hal: 31
[10] Abdul Kholiq dkk, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal: 308
[11] Ibid, hal: 308
[12] Frithjof Schuon (terj.
Rahmani Astuti), Islam and the Perennial Philosophy, (Bandung: Mizan,
1995), hal: 7
[13] Seyyed Hossein Nasr
(terj. Yuliani Liputo), The Garden of Truth (Mereguk Sari Tasawuf), (Bandung:
Mizan, 2010), hal: 257
[14] Ibid, hal: 7
[15] Op. Cit, Abdul Kholiq
dkk, hal: 308-309
Tidak ada komentar:
Posting Komentar