Label

Selasa, 18 Desember 2012

Hanya Sebuah Elegi



Hanya Sebuah Elegi

Keheningan pagi pecah oleh suara tangis. Rasa marah, sedih, takut bercampur menjadi satu.Tak pernah terlintas dalam benakku, hal seperti ini akan terjadi padaku juga. Semua orang berkumpul disini. Ada tante Rosa, om Joni. Bahkan tante Rena dan om Rahadi yang selalu sibuk tak pernah meluangkan waktunya untuk berkumpul dalam acara keluargapun ikut hadir. Semua anggota keluarga besar Wicaksono berkumpul, berbaur menjadi satu.
Tapi entah mengapa, aku malah membencinya. Aku benci tatapan mereka yang seakan mengatakan “Kasian kamu nak, yang sabar yah.” Keadaan mulai menjadi aneh. Aku heran, mengapa mereka semua menangis ? sebenarnya apa yang mereka tangisi ? tak ada satu orangpun yang mampu menjelaskannya padaku.
Kakiku bergetar. Seluruh badanku mendadak lemas. Air mata tak kuasa aku bendung. Akhirnya akupun ikut-ikutan seperti mereka. Menangis,,,menangis,,,dan menangis. Terlihat olehku tubuh yang sudah terbujur kaku berbungkus kain putih, lengkap dengan keranda yang sudah siap menghantarkannya ketempat peristirahatan terakhir.
Ingin rasanya aku berlari,,,berlari,,,dan berlari terus. Terus,,,terus,,,dan terus tanpa berhenti sampai akhirnya akupun terjatuh. Tersungkur, tapi apa yang bia aku lakukan kecuali menangis lagi. Lututku robek. Darah mengalir dengan derasnya. Dipersimpangan itu aku terdiam. Pedih rasanya, tapi luka karena jatuh ini tak ada apa-apanya dibandingkan luka yang sedang aku alami sekarang.
***
Jalan-jalan di kota wingko ini terasa sangat asing buatku. Entah mengapa, walaupun sudah sering aku melewati jalan yang sama setiap harinya namun semua ini terasa asing. Aku merasa tak ada seorangpun yang dapat aku kenali. Di persimpangan inipun akhirnya aku berhenti lagi. Memandang air yang jernih mengalir langsung dari pegunungan. Andai aku bisa seperti air. Yang selalu mengalir dan terus mengalir sampai ia menemukan lautan yang luas.
“Mamah beliin aku balon itu.” Rengek gadis kecil kuncir dua pada ibunya.
“Sayang, tangan kamu udah penuh pegang mainan. Ga usah beli yah.”
Mendengar jawaban ibunya anak itupun menangis semakin menjadi. Hah, jadi inget masa kecil dulu. Aku hanya tersenyum melihatnya. Sosok wanita itu, wanita yang sangat ramah, hangat, dan bersahaja. Ah, Tiara, kejadian itu sudah tiga belas tahun yang lalu tahun yang lalu. Sekarang kamu sudah dewasa, sudah bisa menerima keadaan yang ada. Tapi,,,mengapa hal itu sangat susah aku realisasikan. Sebenarnya bukan sedih yang aku rasakan. Tapi perasaan ini perasaan aneh. Ditinggal oleh orang yang sangat dekat dengan kita, yang sangat kita cintai untuk selamanya. Ini untuk pertama kalinya buatku.
Dengan menyibukkan diri dalam organisasi kampus dapat menghilangkan sedikit ingatanku tentangnya. Tapi hal itu tidak bertahan lama. Sesampainya aku di rumah, semua kenangan itu muncul kembali. Ingin rasanya pergi saja dari sini. Entah pergi kemana, yang penting aku ingin berlari dan terus berlari sampai aku bisa menemukan jawabannya. Kau boleh berfikiran kalau aku sudah gila atau tak waras. Tapi inilah aku yang sekarang. Tiara yang bimbang dan bingung dengan perasaannya sendiri.
***s
 09 Desember 2014
Hari ini untuk pertama kalinya hatiku merasakan kebimbangan yang sangat luar biasa. Adrenalin yang tinggi mengharuskan jantungku lebih ekstra memompa darah. Puluhan pesan singkat masuk ke ponselku.
From: Dad
Semangat Tiara, kamu bisa
Just do it, okay my sweet J
Tapi tak apa, ada gunanya juga pesan itu. Seengganya sekarang aku lebih merasa tenang.
Ruang ujian itu ibarat penjara yang siap kapan ajah menahanku. Tuhan, aku mohon tolong bantu aku Tuhan.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung berlari masuk.
“Mamah,,,Tiara lulus mah.” Kataku dengan melukiskan senyum lebar di bibir.
“Mamah, Tiara lulus.” Kataku lagi sembari berlari kesana kemari mencari sosok yang sedari tadi aku harapkan. Ogh iyah, mungkin ia sedang tidur di kamarnya. Pikirku. Akupun langsung berlari menuju kamar utama. Dengan tergesa-gesa aku membuka pintu.
“Mamah, Tiara lulus Mah,,,” kataku sumringah.
Namun, lukisan senyum dari bibirku mendadak berubah. Aku terdiam, membisu. Perlahan aku mendekati meja rias itu. Duduk termenung. Kulipat kedua kakiku, kupandangi foto yang terpajang di meja rias mamah.
“Mamah, Tiara lulus mah. Mamah senengkan, sekarang Tiara mau menjadi seorang sarjana?” tangis ku tak bisa terbendung lagi.
“Mah, Tiara kangen sama mamah. Tiara pengen peluk mamah. Tiara pengen mamah ngrasain apa yang Tiara rasain sekarang mah.” Kataku sambil terisak.
Semuanya tak seperti yang aku harapkan. Bayanganku, sesampainya dirumah mamah akan menyambutku dengan senyuman khasnya. Sambil mengecup pipiku ia berkata
“Selamat yah, anak mamah mau jadi sarjana.”
Tapi semuanya hanyalah halusinasiku belaka. Bukan sosok yang ramah dan hangat yang aku temui. Melainkan hanya kamar kosong dan baju-baju  yang masih bergantungan dalam lemari. Bagiku semua ini adalah elegy kehidupan. Yah, elegy kehidupanku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar