Label

Jumat, 11 Januari 2013

Hak Waris Perempuan



I.                   PENDAHULUAN
Masyarakat kuno sama sekali tidak memberikan hak waris terhadap wanita. Dalam hokum-hukum masyarakat kuno, apabila kadang-kadang warisan diberikan kepada anak perempuan, tidak pernah warisan itu diberikan kepada anak dari anak perempuan itu, sementara anak laki-laki dapat menerima warisan dari peninggalannya kelak.
Sejarah hak waris wanita panjang sekali. Para ahli dan sarjana telah menyelidiki secara luas dan telah meninggalkan banyak hasil penelitian dan tulisan tentang pokok ini. Dalam hokum-hukum masyarakat kuno, warisan tidak diberikan kepada wanita karena untuk mencegah beralihnya kekayaan suatu keluarga kepada keluarga yang lain.
Selain itu, ada pula alasan lain mengapa wanita tidak diberikan harta warisan, diantaranya adalah kelemahan mereka dalam berperang. Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba mengulas hak waris bagi wanita sebelum islam, warisan perempuan.
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hak waris perempuan sebelum islam ?
2.      Bagaimana warisan terhadap perempuan ?
III.             PEMBAHASAN
A.    Hak Waris Perempuan Sebelum Islam
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bahwa bangsa arab sebelum datangnya Islam sangat zalim terhadap kaum perempuan. Mereka tidak memmberikan harta warisan kepada kaum perempuan ataupun anak-anak bahkan dari harta suami, atau ayah mereka sekalipun. Bahkan orang arab pada jaman jahiliyah menganggap istri di mendiang sebagai bagian dari harta benda dan kekayaannya, dan mereka mengambilnya sebagai bagian dari warisan.[1]
Begitu pula ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.[2] Sebenarnya tradisi yang melarang wanita untuk menerima haknya dalam warisan merupakan tradisi jahiliyah.
B.     Warisan Perempuan
Hal lain yang sering digugat kaitannya dengan aspek kesetaraan laki-laki perempuan adalah soal warisan. Banyak kalangan mempersoalkan perbandingan yang tidak adil, 1 bagian laki-laki dengan ½ bagian perempuan. Seperti yang dituliskan dalam al-qur’an QS. Al-Nisa ayat 11 :
يوصيكم الله في اولادكم للذكرمثل حظ الآنثيين...(النساء)
Artinya :
“ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan…(QS. Al-Nisa: 11)
Ayat diatas menjelaskan bahwa laki-laki akan mendapatkan jatah warisan seperdua bagian perempuan. Rasulullah SAW bersabda.., berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (sesuai dengannbagiannya), sedangkan sisanya adalah bai ashabah laki-laki terdekat. (HR.Muslim)
Kalau dilihat-lihat memang telah terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan. Namun jika kita renungkan dengan seksama, sesungguhnya islam telah membaginya dengan seadil-adilnya. Karena adil bukan berarti harus selalu sama.
Apabila pengakuan akan perbedaan peran pria dan wanita dalam lingkungan hubungan khusus mereka berdua sebagai suami istri dibenarkan dan diterima karena adanya beberapa perbedaan hak-hak khusus yang ada pada masing-masing mereka, lalu apakah membenarkan perbedaan antara mereka berdua dalam bidang hak-hak umum, dimana bagkian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, hal yang mengesankan bahwa wanita sama dengan setengah pria?
Al-Razi menjelaskan hikmah hokum warisan 1:2 adalah : pertama, karena perempuan lebih lemah disbanding anak laki-laki, nafkah perempuan sudah siberikan oleh suami. Kedua, laki-laki lebih sempurna keadaannya dari pada perempuan, baik dari segi moral, intelektual, maupun agama. Ketiga, arena perempuan sedikit akal tetapi banyak keinginan. Keempat, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya mampu membelanjakan harta yang dimiliki untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendapat pujian atau kebaikan didunia dan mendapat pahala diakhirat.[3]
Dalam al-qur’an terdapat kalimat yang berbunyi li al-dzakar mitslu al-untsayain dan bukan li al-untsayain mitslu hazzi al-dzakarain?
Ibn Asyur memahami ayat ini sebagai pemberian hak waris bagi perempuan adalah hal yang lebih penting dibandingkan laki-laki karena pada zaman jahiliyah karena perempuan tidak berhak atas warisan. Bagian satu anak laki-laki adalah sebanding dengan bagian dua anak perempuan, artinya bagian anak laki-laki diketahui setelah mengetahui bagian perempuan. Pesan yang ingin disampaikan oleh al-qur’an adalah transformasi hukum berupa disyariatkannya hak waris bagi perempuan yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi jahiliyah.[4]
Nasarudin Umar dalam Argument Kesetaraan Jender kata min rijalikum dalam QS Al-Baqoroh: 282 lebih ditekankan pada sapek jender laki-laki, bukan pada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki, dibuktikan dengan tidak semua laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama.
Imarah berusaha menampilkan pandangan yang berbeda dengan mainstream ulama tafsir klasik. Imarah belindung pada pandangan Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyahdan Syaltut tentang QS. Al-baqarah/2:282, bahwa al-qur’an tidak menyebut dua saksi atau satu saksi berbanding dua saksi perempuan dalam pengadilan akan tetapi menjelaskan dua cara pembuktian hak dalam jual beli, yaitu saksi dan khitabah(kesepakatan tertulis)
Imarah menguatkan pandangannya dengan mengutip pandangan Muhammad Abduh bahwa realitas perempuan saat turunnya al-qur’an adalah mereka tidak banyak terlibat secara langsung dalam urusan jual beli sehingga dianggap tidak cakap dalam urusan tersebut. Namun kondisi ini dapat berubah dari waktu kewaktu. Karena pada kenyataannya pada zaman sekarang banyak dijumpai perempuan-perempuan yang cerdas dan berintelektual tinggi.
Jadi pada kenyataannya pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada hokum adat istiadat dan pemikiran mainstream yang di anut oleh masyarakat pada umumnya. Mereka mengatakan bahwa perempuan adalah lemah, tak kuat ingatannya dan perempuan adalah hanya teman sex bagi laki-laki semata.
Namun pada kenyataannya seiring dengan perkembangan jaman kondisi ini berubah dari waktu-kewaktu. Pada kenyataannya penafsiran seperti yang ditafsirkan diatas adalah tafsir klasik yang lahir pada masyarakat dan budaya tertentu yang tidak menutup kemungkinan budaya tersebut tetap dianut oleh masyarakatnya.
Sebenarnya masalah ini tidak jauh dari bidang khusus, yaitu perbedaan bagian perempuan dan laki-laki dalam warisan. Perbedaan mereka berdua dikarenakan tanggung jawab umum yang dibebankan kepada laki-laki. Allah SWT memberikan bagian wanita setengah dari bagian pria, oleh karena itu wanita terbebaas dari beban-beban materi (financial)yang menjadi beban kaum laki-laki.









IV.             KESIMPULAN
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Al-Razi menjelaskan hikmah hokum warisan 1:2 adalah : pertama, karena perempuan lebih lemah disbanding anak laki-laki, nafkah perempuan sudah siberikan oleh suami. Kedua, laki-laki lebih sempurna keadaannya dari pada perempuan, baik dari segi moral, intelektual, maupun agama. Ketiga, arena perempuan sedikit akal tetapi banyak keinginan. Keempat, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya mampu membelanjakan harta yang dimiliki untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendapat pujian atau kebaikan didunia dan mendapat pahala diakhirat.
Imarah berusaha menampilkan pandangan yang berbeda dengan mainstream ulama tafsir klasik. Imarah belindung pada pandangan Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyahdan Syaltut tentang QS. Al-baqarah/2:282, bahwa al-qur’an tidak menyebut dua saksi atau satu saksi berbanding dua saksi perempuan dalam pengadilan akan tetapi menjelaskan dua cara pembuktian hak dalam jual beli, yaitu saksi dan khitabah(kesepakatan tertulis)
Imarah menguatkan pandangannya dengan mengutip pandangan Muhammad Abduh bahwa realitas perempuan saat turunnya al-qur’an adalah mereka tidak banyak terlibat secara langsung dalam urusan jual beli sehingga dianggap tidak cakap dalam urusan tersebut. Namun kondisi ini dapat berubah dari waktu kewaktu. Karena pada kenyataannya pada zaman sekarang banyak dijumpai perempuan-perempuan yang cerdas dan berintelektual tinggi.





V.                PENUTUP
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khasanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua. Dalam pembuatan makalah pasti ada kekurangan, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: PT LENTERA BASRITAMA, 2000)
Hamka Hasan, TAFSIR JENDER: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,(Badan LItbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009)


[1] Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: PT LENTERA BASRITAMA, 2000), hal. 155
[3] Hamka Hasan, TAFSIR JENDER: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir,(Badan LItbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hal. 236-237
[4] Ibid, hal. 238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar