I.
PENDAHULUAN
Masyarakat kuno sama sekali tidak memberikan hak waris terhadap
wanita. Dalam hokum-hukum masyarakat kuno, apabila kadang-kadang warisan
diberikan kepada anak perempuan, tidak pernah warisan itu diberikan kepada anak
dari anak perempuan itu, sementara anak laki-laki dapat menerima warisan dari
peninggalannya kelak.
Sejarah hak waris wanita panjang sekali. Para ahli dan sarjana
telah menyelidiki secara luas dan telah meninggalkan banyak hasil penelitian
dan tulisan tentang pokok ini. Dalam hokum-hukum masyarakat kuno, warisan tidak
diberikan kepada wanita karena untuk mencegah beralihnya kekayaan suatu
keluarga kepada keluarga yang lain.
Selain itu, ada pula alasan lain mengapa wanita tidak diberikan
harta warisan, diantaranya adalah kelemahan mereka dalam berperang. Untuk itu
dalam makalah ini penulis mencoba mengulas hak waris bagi wanita sebelum islam,
warisan perempuan.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
hak waris perempuan sebelum islam ?
2.
Bagaimana
warisan terhadap perempuan ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Hak Waris Perempuan Sebelum Islam
Sebelum
Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima
warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih
bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa
Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan
warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah
menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang
melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan,
sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat
jelas bahwa bangsa arab sebelum datangnya Islam sangat zalim terhadap kaum
perempuan. Mereka tidak memmberikan harta warisan kepada kaum perempuan ataupun
anak-anak bahkan dari harta suami, atau ayah mereka sekalipun. Bahkan orang
arab pada jaman jahiliyah menganggap istri di mendiang sebagai bagian dari
harta benda dan kekayaannya, dan mereka mengambilnya sebagai bagian dari
warisan.[1]
Begitu
pula ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang
waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan.
Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut
dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada
kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang
telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.[2]
Sebenarnya tradisi yang melarang wanita untuk menerima haknya dalam warisan
merupakan tradisi jahiliyah.
B.
Warisan Perempuan
Hal lain yang sering digugat kaitannya dengan aspek kesetaraan
laki-laki perempuan adalah soal warisan. Banyak kalangan mempersoalkan
perbandingan yang tidak adil, 1 bagian laki-laki dengan ½ bagian perempuan. Seperti
yang dituliskan dalam al-qur’an QS. Al-Nisa ayat 11 :
يوصيكم الله في اولادكم للذكرمثل حظ الآنثيين...(النساء)
Artinya
:
“
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan…(QS.
Al-Nisa: 11)
Ayat diatas menjelaskan bahwa laki-laki akan mendapatkan jatah
warisan seperdua bagian perempuan. Rasulullah SAW bersabda.., berikanlah harta
warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (sesuai dengannbagiannya),
sedangkan sisanya adalah bai ashabah laki-laki terdekat. (HR.Muslim)
Kalau dilihat-lihat memang telah terjadi diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Namun jika kita renungkan dengan seksama, sesungguhnya islam telah
membaginya dengan seadil-adilnya. Karena adil bukan berarti harus selalu sama.
Apabila pengakuan akan perbedaan peran pria dan wanita dalam
lingkungan hubungan khusus mereka berdua sebagai suami istri dibenarkan dan
diterima karena adanya beberapa perbedaan hak-hak khusus yang ada pada
masing-masing mereka, lalu apakah membenarkan perbedaan antara mereka berdua
dalam bidang hak-hak umum, dimana bagkian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan, hal yang mengesankan bahwa wanita sama dengan setengah pria?
Al-Razi menjelaskan hikmah hokum warisan 1:2 adalah : pertama,
karena perempuan lebih lemah disbanding anak laki-laki, nafkah perempuan sudah
siberikan oleh suami. Kedua, laki-laki lebih sempurna keadaannya dari
pada perempuan, baik dari segi moral, intelektual, maupun agama. Ketiga,
arena perempuan sedikit akal tetapi banyak keinginan. Keempat, laki-laki
karena kesempurnaan intelektualnya mampu membelanjakan harta yang dimiliki
untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendapat pujian atau kebaikan didunia dan
mendapat pahala diakhirat.[3]
Dalam al-qur’an terdapat kalimat yang berbunyi li al-dzakar
mitslu al-untsayain dan bukan li al-untsayain mitslu hazzi al-dzakarain?
Ibn
Asyur memahami ayat ini sebagai pemberian hak waris bagi perempuan adalah hal
yang lebih penting dibandingkan laki-laki karena pada zaman jahiliyah karena
perempuan tidak berhak atas warisan. Bagian satu anak laki-laki adalah
sebanding dengan bagian dua anak perempuan, artinya bagian anak laki-laki
diketahui setelah mengetahui bagian perempuan. Pesan yang ingin disampaikan
oleh al-qur’an adalah transformasi hukum berupa disyariatkannya hak waris bagi
perempuan yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi jahiliyah.[4]
Nasarudin Umar dalam Argument Kesetaraan Jender kata min rijalikum
dalam QS Al-Baqoroh: 282 lebih ditekankan pada sapek jender laki-laki, bukan
pada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki,
dibuktikan dengan tidak semua laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang
sama.
Imarah berusaha
menampilkan pandangan yang berbeda dengan mainstream ulama tafsir
klasik. Imarah belindung pada pandangan Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyahdan
Syaltut tentang QS. Al-baqarah/2:282, bahwa al-qur’an tidak menyebut dua saksi
atau satu saksi berbanding dua saksi perempuan dalam pengadilan akan tetapi
menjelaskan dua cara pembuktian hak dalam jual beli, yaitu saksi dan
khitabah(kesepakatan tertulis)
Imarah menguatkan pandangannya dengan mengutip pandangan Muhammad
Abduh bahwa realitas perempuan saat turunnya al-qur’an adalah mereka tidak
banyak terlibat secara langsung dalam urusan jual beli sehingga dianggap tidak
cakap dalam urusan tersebut. Namun kondisi ini dapat berubah dari waktu kewaktu.
Karena pada kenyataannya pada zaman sekarang banyak dijumpai
perempuan-perempuan yang cerdas dan berintelektual tinggi.
Jadi pada kenyataannya pembagian warisan antara laki-laki dan
perempuan didasarkan pada hokum adat istiadat dan pemikiran mainstream yang di
anut oleh masyarakat pada umumnya. Mereka mengatakan bahwa perempuan adalah
lemah, tak kuat ingatannya dan perempuan adalah hanya teman sex bagi laki-laki
semata.
Namun pada kenyataannya seiring dengan perkembangan jaman kondisi
ini berubah dari waktu-kewaktu. Pada kenyataannya penafsiran seperti yang
ditafsirkan diatas adalah tafsir klasik yang lahir pada masyarakat dan budaya
tertentu yang tidak menutup kemungkinan budaya tersebut tetap dianut oleh
masyarakatnya.
Sebenarnya masalah ini tidak jauh dari bidang khusus, yaitu
perbedaan bagian perempuan dan laki-laki dalam warisan. Perbedaan mereka berdua
dikarenakan tanggung jawab umum yang dibebankan kepada laki-laki. Allah SWT
memberikan bagian wanita setengah dari bagian pria, oleh karena itu wanita
terbebaas dari beban-beban materi (financial)yang menjadi beban kaum laki-laki.
IV.
KESIMPULAN
Sebelum Islam datang, kaum wanita
sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris
(orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut
berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas
menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan)
kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu
memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka
mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka
mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Al-Razi
menjelaskan hikmah hokum warisan 1:2 adalah : pertama, karena perempuan lebih
lemah disbanding anak laki-laki, nafkah perempuan sudah siberikan oleh suami.
Kedua, laki-laki lebih sempurna keadaannya dari pada perempuan, baik dari segi
moral, intelektual, maupun agama. Ketiga, arena perempuan sedikit akal tetapi banyak
keinginan. Keempat, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya mampu
membelanjakan harta yang dimiliki untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendapat
pujian atau kebaikan didunia dan mendapat pahala diakhirat.
Imarah berusaha menampilkan pandangan yang berbeda dengan
mainstream ulama tafsir klasik. Imarah belindung pada pandangan Ibn Taimiyah,
Ibn Qayyim al-Jauziyahdan Syaltut tentang QS. Al-baqarah/2:282, bahwa al-qur’an
tidak menyebut dua saksi atau satu saksi berbanding dua saksi perempuan dalam
pengadilan akan tetapi menjelaskan dua cara pembuktian hak dalam jual beli,
yaitu saksi dan khitabah(kesepakatan tertulis)
Imarah menguatkan pandangannya dengan mengutip pandangan Muhammad
Abduh bahwa realitas perempuan saat turunnya al-qur’an adalah mereka tidak
banyak terlibat secara langsung dalam urusan jual beli sehingga dianggap tidak
cakap dalam urusan tersebut. Namun kondisi ini dapat berubah dari waktu
kewaktu. Karena pada kenyataannya pada zaman sekarang banyak dijumpai
perempuan-perempuan yang cerdas dan berintelektual tinggi.
V.
PENUTUP
Demikian yang dapat saya
sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khasanah keilmuan dan bermanfaat
bagi kita semua. Dalam pembuatan makalah pasti ada kekurangan, maka dari itu
saya mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Murtadha Muthahhari, Hak-hak
Wanita dalam Islam, (Jakarta: PT LENTERA BASRITAMA, 2000)
Hamka Hasan, TAFSIR JENDER: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia
dan Mesir,(Badan LItbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar