Hanya Sebuah Elegi
Keheningan pagi
pecah oleh suara tangis. Rasa marah, sedih, takut bercampur menjadi satu.Tak
pernah terlintas dalam benakku, hal seperti ini akan terjadi padaku juga. Semua
orang berkumpul disini. Ada tante Rosa, om Joni. Bahkan tante Rena dan om
Rahadi yang selalu sibuk tak pernah meluangkan waktunya untuk berkumpul dalam
acara keluargapun ikut hadir. Semua anggota keluarga besar Wicaksono berkumpul,
berbaur menjadi satu.
Tapi entah
mengapa, aku malah membencinya. Aku benci tatapan mereka yang seakan mengatakan
“Kasian kamu nak, yang sabar yah.” Keadaan mulai menjadi aneh. Aku heran,
mengapa mereka semua menangis ? sebenarnya apa yang mereka tangisi ? tak ada
satu orangpun yang mampu menjelaskannya padaku.
Kakiku bergetar.
Seluruh badanku mendadak lemas. Air mata tak kuasa aku bendung. Akhirnya akupun
ikut-ikutan seperti mereka. Menangis,,,menangis,,,dan menangis. Terlihat olehku
tubuh yang sudah terbujur kaku berbungkus kain putih, lengkap dengan keranda
yang sudah siap menghantarkannya ketempat peristirahatan terakhir.
Ingin rasanya aku
berlari,,,berlari,,,dan berlari terus. Terus,,,terus,,,dan terus tanpa berhenti
sampai akhirnya akupun terjatuh. Tersungkur, tapi apa yang bia aku lakukan
kecuali menangis lagi. Lututku robek. Darah mengalir dengan derasnya.
Dipersimpangan itu aku terdiam. Pedih rasanya, tapi luka karena jatuh ini tak
ada apa-apanya dibandingkan luka yang sedang aku alami sekarang.
***
Jalan-jalan di
kota wingko ini terasa sangat asing buatku. Entah mengapa, walaupun sudah
sering aku melewati jalan yang sama setiap harinya namun semua ini terasa asing.
Aku merasa tak ada seorangpun yang dapat aku kenali. Di persimpangan inipun
akhirnya aku berhenti lagi. Memandang air yang jernih mengalir langsung dari
pegunungan. Andai aku bisa seperti air. Yang selalu mengalir dan terus mengalir
sampai ia menemukan lautan yang luas.
“Mamah beliin aku
balon itu.” Rengek gadis kecil kuncir dua pada ibunya.
“Sayang, tangan
kamu udah penuh pegang mainan. Ga usah beli yah.”
Mendengar jawaban
ibunya anak itupun menangis semakin menjadi. Hah, jadi inget masa kecil dulu.
Aku hanya tersenyum melihatnya. Sosok wanita itu, wanita yang sangat ramah,
hangat, dan bersahaja. Ah, Tiara, kejadian itu sudah tiga belas tahun yang lalu
tahun yang lalu. Sekarang kamu sudah dewasa, sudah bisa menerima keadaan yang
ada. Tapi,,,mengapa hal itu sangat susah aku realisasikan. Sebenarnya bukan
sedih yang aku rasakan. Tapi perasaan ini perasaan aneh. Ditinggal oleh orang
yang sangat dekat dengan kita, yang sangat kita cintai untuk selamanya. Ini
untuk pertama kalinya buatku.
Dengan menyibukkan
diri dalam organisasi kampus dapat menghilangkan sedikit ingatanku tentangnya.
Tapi hal itu tidak bertahan lama. Sesampainya aku di rumah, semua kenangan itu
muncul kembali. Ingin rasanya pergi saja dari sini. Entah pergi kemana, yang
penting aku ingin berlari dan terus berlari sampai aku bisa menemukan
jawabannya. Kau boleh berfikiran kalau aku sudah gila atau tak waras. Tapi
inilah aku yang sekarang. Tiara yang bimbang dan bingung dengan perasaannya
sendiri.
***s
09 Desember 2014
Hari ini untuk
pertama kalinya hatiku merasakan kebimbangan yang sangat luar biasa. Adrenalin
yang tinggi mengharuskan jantungku lebih ekstra memompa darah. Puluhan pesan
singkat masuk ke ponselku.
From:
Dad
Semangat
Tiara, kamu bisa
Just
do it, okay my sweet J
Tapi tak apa, ada
gunanya juga pesan itu. Seengganya sekarang aku lebih merasa tenang.
Ruang ujian itu
ibarat penjara yang siap kapan ajah menahanku. Tuhan, aku mohon tolong bantu
aku Tuhan.
***
Sesampainya di
rumah, aku langsung berlari masuk.
“Mamah,,,Tiara
lulus mah.” Kataku dengan melukiskan senyum lebar di bibir.
“Mamah, Tiara
lulus.” Kataku lagi sembari berlari kesana kemari mencari sosok yang sedari
tadi aku harapkan. Ogh iyah, mungkin ia sedang tidur di kamarnya. Pikirku.
Akupun langsung berlari menuju kamar utama. Dengan tergesa-gesa aku membuka
pintu.
“Mamah, Tiara
lulus Mah,,,” kataku sumringah.
Namun, lukisan
senyum dari bibirku mendadak berubah. Aku terdiam, membisu. Perlahan aku mendekati
meja rias itu. Duduk termenung. Kulipat kedua kakiku, kupandangi foto yang
terpajang di meja rias mamah.
“Mamah, Tiara
lulus mah. Mamah senengkan, sekarang Tiara mau menjadi seorang sarjana?” tangis
ku tak bisa terbendung lagi.
“Mah, Tiara kangen
sama mamah. Tiara pengen peluk mamah. Tiara pengen mamah ngrasain apa yang
Tiara rasain sekarang mah.” Kataku sambil terisak.
Semuanya tak
seperti yang aku harapkan. Bayanganku, sesampainya dirumah mamah akan
menyambutku dengan senyuman khasnya. Sambil mengecup pipiku ia berkata
“Selamat yah, anak
mamah mau jadi sarjana.”
Tapi semuanya
hanyalah halusinasiku belaka. Bukan sosok yang ramah dan hangat yang aku temui.
Melainkan hanya kamar kosong dan baju-baju yang masih bergantungan dalam lemari. Bagiku
semua ini adalah elegy kehidupan. Yah, elegy kehidupanku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar